Asscholmedia.net – Bagi sebagian orang, pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Banyak di antara mereka yang rela menunda pernikahan dengan alasan ingin menyelesaikan masa pendidikannya terlebih dahulu, bahkan ada yang rela menunda sampai usia tau.
Lantas bagaimanakah pandangan Islam mengenai fenomena ini?
Berikut penjelasan Sayyid Muhammad Amin bin Iydarus bin Abdullah bin Syaikh Abu Bakar bin Salim dalam kitabnya Buduru as-Sa’adah fi Bayani ma Yuthlabu Inda an-Nikah wa al-Hamli wa al-Mauludi wa al-Wiladah mengatakan:
“Diperbolehkan menunda pernikahan bagi orang yang sudah mencapai usia taklif (baligh) karena alasan menyelesaikan masa pendidikan asalkan tidak khawatir akan terjatuh dalam jurang kemaksiatan selama masa pendidikannya. Dengan cara fokus pada pendidikan, tidak memikirkan dan tergiur pesona wanita karena hukum asal dari pernikahan sendiri sebenarnya tidak wajib.
Adapun jika dalam masa pendidikannya ia dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan semisal khawatir melakukan onani, pacaran atau berkirim surat dengan lawan jenis, atau lainnya seperti melakukan perbuatan zina—Na’udzubillah min Dzalik—maka wajib baginya segera menikah, jika hal itu mudah dilakukan (memiliki biaya pernikahan, nafkah dan hal lainnya). Sekalipun pernikahan tersebut akan menjadi penghambat atau penghalang dalam melanjutkan kembali pendidikannya.
(Jika tidak mudah dilakukan), maka ia disarankan mendahulukan menikah untuk menjaga diri dan agamanya daripada menyempurnakan pendidikannya. Lalu bertakwalah kepada Allah ﷻ, berharap agar agama dan dirinya selamat dari sesuatu yang merusak dan tidak ada manfaatnya melanjutkan pendidikan jika dapat menyebabkan segala khawatir ini.
Syaikh Muhammad bin Hakam Baqisyairun berpesan: “Sayogyanya bagi orang tua segera menikahkan anaknya yang telah sampai usia nikah karena takut akan terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. hal itu telah banyak kejadian yang kita saksikan.”
Al-Habib Abu Bakr al-Aththos bin Abdullah bin Alawiy al-Habsyiy berkata: “Ketika ucapkan kepada salah seorang dari mereka: “Sudah waktunya kamu menikah, aku takut engkau tidak bisa menjaga agamamu.”
Ia menjawab: “Aku tidak terburu-buru menikah sebelum aku menyempurnakan pendidikanku.”
Ia mengira ucapannya itu sesuai ajaran madzhab Abu Hanifah atau ajaran madzhab Muhammad Idris asy-Syafi’i, pada itu ajaran Iblis yang keji.
Ia tidak sadar, bawah terlalu lama melajang di zaman yang penuh kerusakan dan fitnah ini akan berbahaya. Tidaklah hakikat kondisinya kecuali seperti yang telah difirmankan Allah ﷻ:
اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهٗ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ فَرَاٰهُ حَسَنًا ۗ فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۖ ﴿فاطر : ۸﴾
Artinya: “Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (QS. Fatir: 8). Inna lilahi wa inna ilaihi turja’un.
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Sayyid Muhammad Amin bin Iydarus bin Abdullah bin Syaikh Abu Bakar bin Salim| Buduru as-Sa’adah fi Bayani ma Yuthlabu Inda an-Nikah wa al-Hamli wa al-Mauludi wa al-Wiladah| Daru asy-Syaikh Abu Bakar bin Salim, halaman 139.