Asscholmedia.net – Seorang ulama berkata,

العلم حرب للفتى المتعالي* كالسيل حرب للمكان العالي

“Ilmu adalah perang (musuh) bagi pemuda yang sombong * bagaikan banjir menjadi musuh bagi dataran tinggi.”

Penjelasannya; ilmu pantang hinggap kepada seseorang yang hatinya penuh dengan kesombongan, sebagaimana air yang tidak akan pernah mengalir ke dataran tinggi.

Tergolong orang yang hatinya ada kesombongan adalah enggan menghormati gurunya atau keluarga gurunya, sebab keluarga guru adalah orang-orang yang punya hubungan darah dengannya, sehingga juga menjadi keharusan bagi murid untuk menghormati mereka.

Waktu saya mushafahah (salam sungkem) kepada guru saya RKH. Fakhrillah Aschal di Pon Pes Syaichona Moh. Cholil selepas mengikuti pengajian bulanan.

Beliau dawuh kepada saya, “Sakalangkong se aberengin tang anak yeh.!” Saya belum mengerti apa maksud dari perkataan beliau. Saya hanya menjawab “Engghi.”

Melihat ekspresi saya yang kurang paham, beliau mengulangi kembali perkataanya, “Sakalangkong se aberengin tang anak berik!” Akhirnya saya pun jadi mengerti maksudnya, dan saya menjawab, “Engghi, engghi, engghi.” sampai tiga kali.

Rupanya Kiai berterima kasih kepada saya karena telah merewangi putranya yang bernama Lora Syamin al-Firdaus, yang kala itu hadir ke Arosbaya menggantikan beliau dalam undangan Shalawatan.

Padahal kenyataannya saya tidak hadir dalam acara tersebut, apalagi menemani Lora Syamim.

Sebab waktu itu saya merasa kurang enak badan dan sedikit malas keluar rumah. Dan bodohnya, saya juga merasa enteng, karena yang hadir hanya Lora bukan Kiai.

Sudah menjadi biasa, saya selalu menjemput dan menemani Kiai setiap menghadiri sebuah acara di Arosbaya. Termasuk ketika beliau berhalangan dan diwakili oleh putra-putranya, saya juga menemani beliau-beliau. Anehnya, tidak pernah Kiai mengucapkan terima kasih kepada saya selama itu.

Hanya saja terkahir itu saya tidak hadir, lantaran banyak hal, dan anehnya lagi Kiai tetap berterima kasih kepada saya, meski belum tahu kalau saya tidak hadir waktu itu.

Tindakan Kiai tersebut, pertama saya anggap sebuah ungkapan menghargai atas bantuan orang lain kepada dirinya.

Kedua, saya anggap tegoran halus untuk saya yang kurang menaruh rasa hormat kepada keluarganya, sebab saya yakin beliau mukasyafah (dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang).

Oleh: Shofiyullah el-Adnany

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.