Asscholmedia.net -Cerita Abrahah ini diabadikan oleh Allah ﷻ dalam al-Quran dengan nama surah al-Fil.

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَـٰبِ ٱلۡفِیلِ ۝ أَلَمۡ یَجۡعَلۡ كَیۡدَهُمۡ فِی تَضۡلِیلࣲ ۝ وَأَرۡسَلَ عَلَیۡهِمۡ طَیۡرًا أَبَابِیلَ ۝ تَرۡمِیهِم بِحِجَارَةࣲ مِّن سِجِّیلࣲ ۝ فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفࣲ مَّأۡكُولِۭ

“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil 1–5)

Kronologi terjadinya peristiwa itu adalah Raja Abrahah, sang raja Yaman itu membangun sebuah gereja yang sangat megah dan tinggi di kota Shan’ak yang penuh dengan hiasan dan diberi nama Qulais. Dia ingin merubah tempat ibadah haji dari Makkah ke gereja itu, lalu Abrahah menulis surat kepada raja Najasyi.

إنى قد بنيت لك بصنعاء كنيسة لم يبين لملك مثلها حتى أصرف إليها حج العرب

“Aku membangun sebuah gereja untukmu di Shan’ak, yang tidak pernah seorang raja pun membangun semisalnya, hingga aku iangin memalingkan ibadah hajinya orang Arab ke gereja itu.”

Seorang laki-laki dari Bani Malik bin Kinanah mendengar berita itu, lalu mendatangi gereja tadi, dan masuk ke dalamnya di waktu malam, ia mengotori tempat kiblatnya dengan kotoran manusia.

Kejadian itu sampai kepada Abrahah, sehingga membuatnya marah dan berjanji akan mendatangi Ka’bah untuk merobohkannya dengan batu-batu. Abrahah lalu menulis surat kepada raja Najasyi mengabarkan tentang niatnya itu dan meminta untuk mengirimkan unta padanya. Raja Najasyi mempunyai gajah besar yang diberi nama Mahmud, lalu mengirimkan gajah itu kepada Abrahah, dan mereka berangkat ke kota Makkah dengan enam puluh ribu tentara gajah.

Ketika masyarakat Arab mendengar kabar itu, mereka mencegat Abrahah dan pasukannya, dan melihat kesungguhan Abrahah dan pasukannya.

Kemudian datang seorang berpengaruh dari Yaman bernama Dzu Nafar dan rombongannya untuk memerangi Abrahah, tapi Dzu Nafar kalah dengan Abrahah sehingga sebagian tentaranya ada yang ditawan.

Berangkat lagi Abrahah bersama pasukannya meneruskan perjalanan, sampai di negara Khatsahum, datang Nufail bin Habib bersama kaumnya memerangi Abrahah, namun Nufail kalah juga dalam peperangan, sehingga akan dibunuh oleh Abrahah, tapi Nufail minta maaf dan berkata,

لاتقتلنى فإنى دليلك بأرض العرب

“Jangan bunuh aku, aku akan menunjukkan tuan jalan menuju tanah Arab.”

Akhirnya Nufail dilepaskan oleh Abrahah, dan Abrahah meneruskan perjalanan menuju Makkah. Setelah lewat di Thaif, datang Mas’ud bin Mughists berkata,

أيها الملك نحن عبيدك نحن نبعث معك من يدلك

“Wahai raja, kami adalah hamba paduka, dan kami akan mengutus orang yang akan menunjukkan jalan kepada tuan.”

Lalu Mas’ud bin Mughits mengutus Aba Righal sebagai penunjuk jalannya, dan kemudian Abrahah melanjutkan perjalanan hingga sampai di tanah Musghmis, sebuah desa di pinggir Makkah. Di situ Abu Righal meninggal dunia yang dikubur sendiri oleh Abrahah di sana.

Setelah itu, dari desa Mughis Abrahah mengutus seorang laki-laki dari Habsyah bernama Aswad bin Mas’ud untuk memimpin pasukan berkuda bertugas merampas unta-unta milik orang Qurasy termasuk milik Abdul Muthalib yang berjumlah 400 unta. Kemudian Abrahah mengutus Hanathah ke kota Makkah untuk menyampaikan pesannya yang berbunyi,

قل له : إن الملك يقول : لم آت لقتال إنما جئت لهدم هذا البيت

“Katakan padanya, bahwa raja berkata, “Aku ke sana bukan untuk berperang, akan tetapi hanya untuk merobohkan Ka’bah itu.”

Setelah sampai di Makkah, Hanathah bertemu dengan Abdul Muthallib bin Hasyim, dan berkata,

إن الملك أرسلنى إليك لأخبرك أنه لم يأت لقتال وإنما جاء لهدم هذا البيت ثم ينصرف عنكم. فقال عبد المطلب : والله مانريد حربه ومالنا من طاقة هذا بيت الله الحرام وبيت خليله إبراهيم عليه السلام فإن يمنعه فهو بيته وحرمه وإن يخل بينه وبين ذلك فوالله ما عندنا دفع عنه. فقال له حناطة : فا نطلق معى إلى الملك فإنه أمرنى أن يأتيه بك

“Raja mengutusku kepadamu, untuk memberi kabar, bahwa dia datang bukan untuk berperang, tapi hanya untuk merobohkan Ka’bah, kemudian pergi dari kalian.” Lalu Abdul Muthallib menjawab, “Demi Allah kami tidak ingin memeranginya, dan kami tidak akan mampu. Rumah itu milik Allah yang mulia, dan milik kekasihNya Ibrahim Alaihis Salam. Jika Allah ﷻ mencegahnya, Dia adalah pemiliknya, namun jika Dia membiarkan, maka demi Allah kami tidak menghalanginya.” Hanathah berkata, “Ikuti aku pergi ke raja, karena dia menyuruhmu menghadapnya.”

Kemudian Hanathah dan Abdul Muthallib pergi menuju Abrahah. Ketika sampai di tempat barisan prajurit, Abdul Muthallib bertemu Dzu Nafar yang merupakan teman akrabnya, dan menuturkan tentang hajatnya. Dzu Nafar menunjuk Unais seorang pawang gajah untuk mengantar Abdul Muthallib bertemu dengan Abrahah. Setelah disampaikan keperluan Abdul Muthallib oleh Unais kepada Abrahah, dan minta izin untuk menemuinya, akhirnya Abrahah berkenan.

Abdul Muthal mempunyai wajah tampan dan berwibawa, sehingga ketika melihat beliau, Abrahah menghormatinya dan mengagungkannya, bahkan sungkan untuk duduk di sisinya.

Kemudian Abrahah berkata kepada juru terjemahnya, “Katakan padanya, apa keinginannya?” Setelah dikatakan oleh si penerjemah. Abdul Muthallib menjawab,

حاجتى إلى الملك أن يرد إلي إبلى. فقال أبرهة : قد كنت أجبتنى حين رأيتك ثم زهدت فيك. قال : لم؟ قال جئت إلى بيت هو دينك ودين أبائك لأهديه لم نتكلمنى فيه وتكلمنى عن شأن الإبل. قال عبد المطلب : أنا رب الإبل وإن للبيت ربا يمنعه. قال ما كان ليمنعه منى. قال أنت وذك
“Aku minta kepada raja untuk mengembalikan untaku.” Abrahah berkata, “Tadinya aku kagum kepadamu saat pertama melihatmu.” “Kenapa begitu?” Tanya Abdul Muthallib. Lalu Abrahah menimpali, “Aku mendatangi Ka’bah, dia itu agamamu dan agama nenek muyangmu. Aku berniat untuk merobohkannya, tapi belum sempat berbicara. Sedangkankan kamu malah membicarakan masalah unta.” Di jawab oleh Abdul Muthallib, “Aku adalah pemilik unta, sedangkan Ka’bah mempunyai Tuhan yang akan menjaganya.” “Tidak mungkin dia bisa menghalangiku.” Sambung Abrahah. “Terserahlah.” Akhiri Abdul Muthallib.

Kemudian Abrahah menyerahkan unta itu kepada Abdul Muthallib. Setelah itu Abdul Muthallib pergi ke Ka’bah bersama beberapa golongan berdoa kepada Allah ﷻ untuk menjaga Ka’bah dari serangan raja Abrahah.

Sementara itu, pasukan Abrahah pun bergegas menuju Makkah. Hentakan kaki gajah telah membuat bulu kuduk warga Makkah merinding. Mereka berpikir, inilah hari akhir bagi Kota Makkah. Abrahah pun memerintahkan untuk menyerang. Namun, tiba-tiba gajah-gajah enggan melangkahkan kaki. Mereka hanya terdiam dan enggan untuk menyerang.

Meski telah dicambuk sang majikan, gajah-gajah itu berbalik arah dan enggan menuju Kabah. Gajah-gajah itu justru hanya berputar-putar saja di lembah Muhassir, dekat Kabah.

Abrahah geram dan terus memerintahkan pasukannya untuk mencambuk gajah-gajah itu agar menurut. Namun, pasukannya kehabisan akal dan kelelahan menangani gajah yang menurut mereka telah terlatih tersebut.

Di tengah-tengah itu tiba-tiba Allah ﷻ mengutus burung-burung berwarna hitam, datang berbondong-bondong. Setiap kelompok dari burung-burung tersebut ada pemimpin burung yang paruhnya berwarna merah, kepalanya hitam, lehernya panjang. Setiap burung membawa 3 kerikil kecil seukuran kacang, satu di paruhnya yang dua di kakinya. Setiap kerikil bertuliskan nama orang yang akan dibunuh. Batu-batu itu mengenai kepada pasukan Abrahah sampai tembus ke duburnya.

Sedangkan Abrahah, jari-jari tangannya berguguran disertai nanah dan darah, tapi dia tidak mati hingga sampai ke negara Shan’ak dengan kondisi sobek dadanya sampai akhirnya binasa. Sementara panglimanya yang bernama Abu Yaksum pergi menemui raja Najasyi, yang di atas kepalanya diikuti oleh salah satu dari burung tadi. Setelah selesai bercerita kejadian itu kepada raja Najasyi, burung itu melemparkan batunya ke kepala si panglima, dan akhirnya si panglima terjatuh mati. Waallah A’lamu

Oleh : Shofiyullah el_Adnany

Disadur dari kitab Madarijus Su’ud Ila Iktisabil Burud, Wa Asawirul Asjadi Ala Jauhari ‘Aqdi| Syaikh Nawawi Bin Umar al-Banteni1 Hal 21-22.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.