Asscholmedia.net – Ibnu Abbas ra menceritakan: Tibalah Ya’qub di rumah pamannya, Ia bernama Layya bin Tanwil (dalam versi kitab al-Ansab al-Arab) Layyan bin Tanwil bin Ilyas As. Ia seorang pengembala dan peternak kambing.

Pada suatu waktu datanglah musim kemarau yang panjang, hujan tidak kunjung turun. Sungai dan sumur tempat ia memberikan minum kambing telah nyaris habis. Lalu ia datang mengadu pada Ya’qub tetang kesulitan air yang menimpanya.

Tanpa banyak bicara, Ya’qub segera membawa tali tambang dan berdiri di tepi sumur yang dimaksud. Ia mengikatkan tambang tersebut pada sebuah timba lalu dimasukannya ke dalam sumur. Mengambil dan meminum airnya kemudian memasukan kembali timba beserta sisa airnya dalam sumur.

Ajaib, barokah Ya’qub sumur itu mengeluarkan air dengan derasnya. Meluap hingga batas bibir sumur. Mulai sejak kejadian itu sang paman dan penduduk setempat memuliakan dan menghormati Ya’qub.

*****

Sudah sewindu Ya’qub tinggal di Najran di rumah pamannya. Ia telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dan paham betul bahwa hidup ini tidaklah lengkap dan indah tanpa adanya pasangan hidup. Ia pun akan seperti manusia lainnya—menikah lalu punya banyak anak. Menjadi kepala rumah tangga, bertanggung jawab dan menafkahi mereka. Manusia tidak selamanya muda dan sehat. Ia butuh bantuan orang lain seperti istri dan anak-anaknya untuk merawat dirinya ketika sakit dan memberinya makan ketika sudah tua renta.

Pada suatu hari, ya’qub melihat putri pamannya yang bernama Rahil. Pada mulanya tidak ada rasa apapun di hati Ya’qub namun setelah setiap hari berjumpa dalam satu rumah. Hati Ya’qub mulai dilanda rasa suka lalu rindu yang menyiksa saat tidak berjumpa.

Maka dengan niat melaksanakan sunnatullah dan membentengi diri dari suatu yang haram, Ya’qub bertekad menyunting Rahil putri pamannya.

Hari pernikahan sudah ditentukan, tetangga dan famili terdekat turut diundang untuk menyaksikan dan memberi doa restu pada mempelai berdua. Namun betapa terkejutnya Ya’qub saat mempelai wanita dihadirkan, ternyata wanita yang ada di hadapannya bukan Rahil pujaan hatinya tapi kakaknya.

Di Najran, orang-orang laki-laki di kalangan mereka kebanyakan menikah dengan perempuan Musyrikat (wanita yang berbeda agama), tidak dengan yang perempuan dan gadis perempuan tidak boleh menikah terlebih dahulu sebelum kakak perempuannya menikah. Kebetulan kakak perempuan Rahil, belum menikah. Dalam keterangan kitab Qishashu al-Anbiya yang diberi nama Araisi al-Majalis, Kakak dari Rahil bernama Layya bin Laban

“Wahai pamanku! Bukan gadis ini yang aku hendak nikahi”. Ungkap Ya’qub pada pamanya.

Sang paman menjawab: “Putraku! Dalam tradisi kami, tidak akan menikahkan anak perempuannya yang lebih muda sebelum kakak perempuan telah menikah. Tapi aku juga akan menikahkanmu dengan putriku yang kedua untuk mengobati cintamu padanya dan sebagai penghormatan kami pada jasa-jasamu terhadap kami. Karena itu aku menikahmu dengan dua putriku.”

Syaikh as-Suddi dan adh-Dhahhak dan lainnya mengatakan: hal itu sebagaimana yang telah difirmankan Allah ﷻ dalam al-Qur’an:

وَاَنۡ تَجۡمَعُوۡا بَيۡنَ الۡاُخۡتَيۡنِ اِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا ۙ‏

“Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 23).

Allah ﷻ memperbolehkan pada Ya’qub menikahi dua perempuan yang bersaudara namun diharamkan pada kita (umat Nabi Muhammad ﷺ).

Dengan begitu itu Ya’qub pada hari itu merasakan keindahan, kebahagian dan suka cita yang tiada tara karena apa yang impikan selama ini telah menjadi kenyataan.

Selain itu dua istri yang Ya’qub mempunyai dua budak perempuan bersaudara lalu dua budak perempuan tersebut dihadiahkan pada Ya’qub. Maka secara bersama Ya’qub mengumpulkan dua istri yang merdeka dan bersaudara serta dua budak perempuan yang bersaudara kandung.

Setelah Ya’qub resmi berkeluarga sang mertua yang tak lain adalah pamannya sendiri dari jalur ibu Ya’qub, menyerahkan semua peternakan kambingnya untuk dirawat dan bagi hasil selama tujuh tahun. 𝑩𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒃𝒖𝒏𝒈…

Waallahu A’lamu

Penulis: Abdul Adzim

Referensi:

📒 𝒁𝒂𝒉𝒓𝒖 𝒂𝒍-𝑲𝒊𝒎𝒂𝒎 𝒇𝒊 𝑸𝒊𝒔𝒉𝒔𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒀𝒖𝒔𝒖𝒇 𝑨𝒔, 𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝑺𝒚𝒂𝒊𝒌𝒉 𝑺𝒊𝒓𝒐𝒋𝒖𝒅𝒅𝒊𝒏 𝑨𝒃𝒊 𝑯𝒂𝒇𝒂𝒔𝒉 𝑼𝒎𝒂𝒓 𝒃𝒊𝒏 𝑰𝒃𝒓𝒂𝒉𝒊𝒎 𝒃𝒊𝒏 𝑼𝒎𝒂𝒓 𝒂𝒍-𝑨𝒏𝒔𝒉𝒐𝒓𝒊 𝒂𝒍-𝑼𝒘𝒂𝒔𝒊𝒚 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒍𝒊𝒌𝒊 (𝒘. 751 𝒉), 𝒄𝒆𝒕. 𝑫𝒂𝒓𝒖 𝒂𝒍-𝑲𝒖𝒕𝒖𝒃 𝒂𝒍-𝑰𝒍𝒎𝒊𝒚𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒍. 21-22

📒 𝑨𝒍-𝑨𝒏𝒔𝒂𝒃 𝒂𝒍-𝑨𝒓𝒂𝒃 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑻𝒂𝒓𝒊𝒌𝒉 𝒂𝒍-‘𝒂𝒘𝒕𝒂𝒃𝒊𝒚 𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝑨𝒃𝒖 𝒎𝒖𝒏𝒅𝒛𝒊𝒓 𝑺𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒉 𝒃𝒊𝒏 𝑴𝒖𝒔𝒍𝒊𝒎 𝒃𝒊𝒏 𝑰𝒃𝒓𝒂𝒉𝒊𝒎 𝒂𝒔𝒉-𝑨𝒔𝒉𝒂𝒉𝒂𝒓𝒊𝒚 𝒂𝒍-‘𝒂𝒘𝒕𝒂𝒃𝒊𝒚 (𝒘. 511 𝒉), 𝒄𝒆𝒕. 𝑨𝒍-𝑴𝒂𝒌𝒕𝒂𝒃𝒂𝒕𝒖 𝒂𝒔𝒚-𝑺𝒚𝒂𝒊𝒎𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒍-𝑯𝒂𝒅𝒊𝒔𝒕𝒚𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒍 50.

📒 𝑸𝒊𝒔𝒉𝒂𝒔𝒉𝒖 𝒂𝒍-𝑨𝒏𝒃𝒊𝒚𝒂 𝒂𝒍-𝑴𝒖𝒔𝒂𝒎𝒎𝒂 𝑨𝒓𝒂𝒊𝒔𝒊 𝒂𝒍-𝑴𝒂𝒋𝒂𝒍𝒊𝒔 𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝑨𝒃𝒊 𝑰𝒔𝒉𝒂𝒌 𝑨𝒉𝒎𝒂𝒅 𝒃𝒊𝒏 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒎𝒎𝒂𝒅 𝒃𝒊𝒏 𝑰𝒃𝒓𝒂𝒉𝒊𝒎 𝒂𝒏-𝑵𝒂𝒔𝒂𝒊𝒃𝒖𝒓𝒊𝒚 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒏𝒂𝒍 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒔-𝑻𝒔𝒂’𝒍𝒂𝒃𝒊𝒚 (𝒘. 427 𝒉), 𝒄𝒆𝒕. 𝑫𝒂𝒓𝒖𝒍 𝒂𝒍-𝑲𝒖𝒕𝒖𝒃 𝒂𝒍-𝑰𝒍𝒎𝒊𝒚𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒍 73.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.