Asscholmedia.net – Ada yang bertanya mengenai hukum orang yang berpuasa memakan buah-buahan dari surga seperti diskrepsi dalam kisah KH. Nawawie bin Noer Hasan dan Pak Nahrawi yang tertulis kemarin.
Baca juga : https://asscholmedia.net/2021/02/27/kh-nawawie-bin-noer-hasan-dan-buah-rambutan-dari-surga/
Satu dua tiga kitab penulis coba terlusuri barang kali ada komentar ulama yang sesuai dengan jawaban pertanyaan di atas. Alhadulillah ada beberapa redaksi kometar ulama yang sempat penulis rangkum dan pada intinya mengarah pada jawaban yang sama yaitu tidak membatalkan puasa.
Pertama ada nama as-Sayyid al-Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar yang dikenal dengan sebutan Ba’alwiy (1250 H-1320H) dalam kitabnya Bughiyah al-Mustarsyidin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal. 140 mengutib dari Syaikh asy-Syaubari berkata:
فائدة: قال الشوبري ومحل الإفطار بوصول العين إذا كانت من غير ثمار الجنة-جعل الله من أهلها-فإن كانت العين من ثمارها، لم يفطر اه.
(Faidah) asy-Syaubari berpendapat: “Titik tekan pembahasan ifthar (membatalkan puasa) sebab masuknya benda (ke dalam perut), bila mana bukan buah-buahan dari surga. Bila yang masuk adalah buah-buahan surga, maka tidak hukumnya tidak membatalkan puasa”.
Redaksi yang sama juga bisa dijumpai dalam kitab Hasyiyah I’anutu ath-Thalibin, Daru al-Fikr 2/258 karya Sayyid Abu Bakar Syatha dengan nama lengap Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syatha ini (1266 H/1849 M-1310 H/1892 M), Hawasyi asy-Syarwaniy wa Ibnu Qasim al-‘Ubdadiy wa Ibni Qasim ala Thuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Daru al-Kutub al-Ilmiyah 4/503 serta kitab Hasyiyah al-Jamal ala Syarhi al-Minhaj, Daru al-Kutub al-Ilmiyah 3/418 karya Syaikh al-Jamal dengan nama lengkap Sulaiman Abu Dawud Sulaiman bin ‘Umar bin Manshur al-‘Ujaili al-Mashri al-Azhari asy-Syafi’i (Wafat 1204 H).
Kemudian dalam kitab yang sama, Syaikh al-Jamal menabahkan: “Dalam kitab al-Ithafi Ahli al-Islam bi Khushushiyati ash-Shiyami, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy (909 H-995 H) mengatakan: “Ulama berbeda pendapat saat mengarahkan arti yang terkandung hadist Nabi ﷺ:
“يطعمني ربي ويسقيني” ((متفق عليه)) .
Saya diberi makan serta minum oleh Tuhanku.” (Muttafaq ‘alaih).
Salah satu dari mereka berpendapat bahwa hadist tersebut diarahkah pada makna hakikatnya (bukan majaz) artinya Rasulullah ﷺ memang benar-benar diberi makanan dan minuman dari surga oleh Allah ﷻ sebagai karomah dan kejadiannya disiang hari sehingga wajar bagi sebagian sahabat, menganggap ﷺ Nabi telah melaksanakan puasa wishal (menyambung puasa tanpa dibatasi waktu saur dan berbuka).
Pendapat ini beralasan bahwa makanan dan minuman yang berasal dari surga tidak memberi pengaruh hukum pada orang mukallaf dengan batalnya puasa. Perbandingan hukumnya sama seperti saat dada Rasulullah dibedah dan bersihkan oleh malaikat Jibril as menggunankan Baskom dari surga yang terbuat dari emas. Meski hukumnya haram memakai wadah dari emas di dunia, tapi tidak berlaku pada wadah yang terbuat dari emas yang berasal dari surga.
Lebih lanjut, Ibnu Munir as-Sakandariy (1223 – 1284/620 – 683 H) dari kalangan Malikiyah menyatakan: “Bahwa katagori sesuatu yang dapat membatalkan puasa secara syara’ adalah makan yang biasa di makan di dunia, sedangkan makanan yang di luar kebiasaan seperti makan yang didatang dari surga hukumnya tidak bisa membatalkan puasa sebagaimana ahli surga memakan makanan surga dan karomah tidak bisa dihukumi seperti hukum kebiasaan yang berlaku (secara syara’)”.
Waallahu A’lamu
Penulis: Abdul Adzim
Referensi:
📗Bughiyah al-Mustarsyidin, Daru al-Kutub al-Ilmiyah hal 140
📗Hasyiyah I’anutu ath-Thalibin, Daru al-Fikr 2/258
📗Hawasyi asy-Syarwaniy wa Ibnu Qasim al-‘Ubdadiy wa Ibni Qasim ala Thuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj, Daru al-Kutub al-Ilmiyah 4/503
📗al-Ithafi Ahli al-Islam bi Khushushiyati ash-Shiyami, Maktabah Thaiyibah al-Madinah al-Munawwarah hal 158