Oleh: Ahmad Sukron
(Peneliti The Initiative Institute dan Dosen Unusa)

Sebelum terpilihnya ketua DPR, Ketua MPR dan Ketua DPD, media sosial ramai memberitakan intervensi Elit Partai Politik terhadap Presiden mengenai tuntutan aksi massa yang berisi Pembatalan Revisi UU KPK (Komisi Pemilihan Korupsi) tahun 2019 melalui Perppu KPK. Kini rakyat sedang menunggu hasil negosiasi Perppu KPK, pasca terpilihnya Ketua DPR, Ketua MPR dan Ketua DPD.

Pasca Revisi undang-undang KPK disahkan oleh DPR pada hari selasa (17/9/2019). Gelombang penolakan dari akademisi yang diwakili Dosen, Mahasiswa dan Praktisi terus belanjut. Beberapa tudingan terkait pasal yang dianggap hasil dari sebuah negosiasi kepentingan kelompok oligarki dengan DPR (2014-2019), yang dinilai hanya ingin melemahkan KPK, terus menjadi perbincangan dalam ruang civitas akademika.
Tidak heran jika civitas akademika menjadikan hal tersebut sebagai bahan perbincangan, karena memang tugas kaum civitas akademika adalah mengkaji dan mencari solusi dari setiap persoalan yang menyangkut kepentingan rakyat, dan hal tersebut merupakan bagian dari implementasi dari Tri Dharma Perguruang Tinggi. Oleh sebab itu tidak ada yang aneh jika kaum civitas akademika melakukan gerakan turun kejalan untuk menyampaikan aspirassinya demi kepentingan rakyat.

Uniknya lagi, mahasiswa yang terbiasa aksi dengan jumlah ratusan massa dan diwakili kaum aktivis pergerakan kampus, telah berubah menjadi Aksi massa terbesar yang diikuti mahasiswa millennial yang berlatar belakang kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) maupun mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) pasca tahun 1998 yang telah meruntuhkan rezim orde baru. Tidak hanya itu, pola penyampaian aspirasinyapun sangat terkesan millennial. Karena tidak hanya orasi dan deretan poster, namun konten atau isi pesan yang terpampang di masing-masing poster dan sepanduk dinilai sangat menggilitik panca indra dan kuping tebal para pemangku kebijakan.

Baca juga:

Seiring berjalannya waktu, tentu tidak hanya kaum civitas akademika dan para mahasiswa millenial saja yang tahu dan paham terkait indikasi pelemahan KPK, melalui revisi UU KPK Tahun 2019, yang terkesan senyap dan sunyi, serta hanya disahkan didedepan 102 anggota DPR (2014-2019). Namun, kaum buruh dan masyarakatpun akan segera tahu dan sadar. Hal ini disebabkan era digitalisasi telah mempermudah masyarakat pengguna media social untuk mendapatkan informasi. Sehingga gelombang aksi massa dimungkinkan semakin membludak.

Memang, ada beberapa pasal yang dinilai bertujuan melemahkan KPK dari hasil revisi UU KPK tersebut. Dan yang menarik perhatian dari berbagai kalangan masyarakat adalah munculnya pasal 37 B ayat (1) huruf b. yang berbunyi “dewan pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan”. Pasal ini dianggap sebagai pasal surga bagi para koruptor dan menjadi angin putting beliung bagi KPK. Kenapa demikian? Karena Dengan pasal tersebut, KPK tidak bisa bergerak senyap dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, justru sebaliknya akan menjadikan KPK seperti singa ompong. Sebab, jika KPK harus ijin terhadap dewan pengawas, peluang intervensi dan bocornya informasi penting menyangkut misi KPK dalam memburu koruptor sangat besar. Terutama terkait dengan OTT KPK.

OTT KPK memang sangat menarik perhatian publik, karena berdasarkan fakta di lapangan, siapapun yang terkena OTT KPK, dapat dipastikan belum ada satupun terdakwa yang divonis bebas oleh pengadilan. Itu artinya, secara yuridis, bukti yang dihadirkan KPK dalam persidangan dipengadilan sudah teruji shoheh.

Meskipun penolakan terhadap revisi UU KPK tahun 2019 yang telah disahkan DPR, oleh mahasiswa dan kaum akademisi melalui demo besar-besaran yang memakan korban, terbunuhnya mahasiswa asal Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara yang bernama Rendy, dan setelah presiden mendengarkan pandangan para tokoh, kini Presiden Jokowi telah mempertimbangkan mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK tahun 2019 tersebut.

Baca juga:

Namun keinginan presiden untuk mengeluarkan Perppu tidak berjalan mulus. Karena berbagai teror pemakzulan dari beberapa partai politik justru bergemuruh. Bahkan partai pendukungnyapun cendrung meminta presiden untuk tidak mengeluarkan Perppu, akan tetapi meminta presiden mengajukan ke MK atau dikonsultasikan terlebih dahulu ke DPR (2019-2024).

Dengan demikian, Intervensi partai inilah yang akan menentukan langkah Presiden Jokowi dalam mengambil kebijakan, antara menerbitkan Perppu sesuai dengan permintaan masyarakat dan kaum civitas akademika atau justru Presiden Jokowi akan mengikuti saran elit Partai Politik untuk mengkonsultasikan revisi UU KPK terhadap anggota DPR terpilih 2019-2024 atau justru presiden lebih memilih melalui jalur MK yang menjadi opsi lain yang ditawarkan oleh partai politik?

Kebijakan presiden terkait revisi UU KPK tahun 2019 memang layak ditunggu, meskipun berbagai tekanan datang dari orang yang mewakili rakyat. Tapi ingat, yang meminta membatalkan revisi UU KPK bukanlah wakil Rakyat, tapi adalah Rakyat langsung. Artinya, bisa dipastikan bahwa “Vox Populi Vox Dei” (suara rakyat suara tuhan) masih berlaku untuk terus menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah yang menerima titipan suara rakyat, dan bahkan rakyat berhak mengambil kembali suara yang dititipkannya kepeda pemerintah baik eksekutif maupun legislatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.