asscholmedia.net – Kiprah santri adalah menanamkan nila-nilai keagamaan di tengah masyarakat. Apalagi hidup saat ini tidak terlalu menghiraukan nilai-nilai agama dan budi luhur para leluhur. Maka santri dituntut untuk menghidupkan semangat spiritual, pendidikan agama, serta menjaga moralitas masyarakat. Dan merupakan sebuah hal pasti, bahwa para orang tua juga mengambil peran penting dalam misi mulia ini. Terlebih di masa-masa menuntut ilmu yang merupakan pondasi dasar bagi setiap generasi bangsa dan agama.

Kita telah melihat akhir-akhir ini, minat masyarakat menjadikan pesantren sebagai tujuan pendidikan kian redup dan surut. Orang tua lebih cendrung menyekolahkan anak-anaknya di sekolah bertaraf Nasional atau bahkan Internasional. Ada pula diantara mereka yang memondokkan anaknya di pesantren. Namun sayang, tujuan mereka lebih condong pada pendidikan formalnya saja.

Bisa jadi, hal ini bertujuan agar anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan baik dan lebih mapan atau pesantren hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk menampung anaknya sementara waktu saja. Sayangnya, fenomena ini banyak terjadi di masyarakat dan para orang tuapun sadar akan hal itu. Pemikiran orang tua seperti ini hanya termakan pola pikir hedonisme dan materialism yang beranggapan bahwa dunia segala galanya. Tiada yang lain kecuali dunia. Mereka lupa bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat. Sedangkan dunia hanyalah lahan untuk mengumpulkan bekal untuk akhirat yang abadi. Hal ini dampak dari arus globalisasi, teknologi, dan pasar bebas yang tak mungkin terbendung lagi. Sehingga berujung pada pola pikir seakan lebih maju dengan gaya hidup seakan lebih baik.

Sebagian masyarakat memilih pemahaman keliru terkait pendidikan. Mereka mempersiapkan anak-anaknya hanya untuk kesejahteraan dan kemakmuran dunia belaka. Seakan-akan sekolahlah yang menjanjikan pekerjaan. Sekolah yang mapan mampu memberikan pekerjaan mapan pula. Inilah yang menjadi target orang tua.

Jangan terlena! Ingatlah, jika anak-anak generasi bangsa tidak memiliki dasar agama yang kuat, Mereka akan tumbuh sebagai generasi yang kering akan nilai-nilai agama. Mereka akan menjadi generasi yang salah jalan, terjerumus pada lembah kesesatan, serta tidak memahami ajaran agama sama sekali. Padahal, status mereka adalah generasi penerus bagsa dan agama.

Sehingga akan datang masa di mana ada begitu banyak cendikiawan, profesor, doktor Namun keilmuannya tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual. Akibatnya, mereka hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Data-fakta yang tidak perlu dipaparkan lagi, dari banyaknya cendikiawan dengan gelar akademik tinggi, menjadi contoh kebobrokan moral.

Baca juga: Taushiyah RKH. Fakhrillah Aschal Untuk Wali Santri

Baca juga: Pesan Penting Nyai Muthmainnah Aschal

Tidak bisa dipungkiri, sedikit-banyak kerusakan moral ini tidak lepas dari peran orang tua, selaku penentu arah masa depan anak bangsa. Terlebih, apabila mereka menjadikan pendidikan sebagai batu loncatan untuk mencapai kemakmuran dunia saja. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW ditegaskan, bahwa seorang penuntut ilmu akan senatiasa dimudahkan jalannya oleh Allah menuju surga.

Hal itu juga diperjelas oleh Syekh Zainuddin bin Abd. Rohman al-Malibari, shohibul Fathul Mu’in dengan memberikan klarifikasi dalam kalam Nadhomnya: “Hal itu akan tercapai apabila menuntut ilmu dengan niat karena Allah dan demi akhirat, jika tidak maka kerusakan yang akan diperoleh”.

Baiknya tujuan merupakan penentu terbesar bagi penuntut ilmu dalam memperoleh kebaikan ilmu. Sedangkan orang tua biasanya lebih peka akan arah pendidikan anaknya. Bagaimana menjadikan anak menjadi orang yang bisa dibanggakan serta mensejahterakan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, orang tua harus mampu menjelaskan tujuan-tujuan mulia dalam menuntut ilmu pada putra-putrinya. Bukan malah sebaliknya, dengan menanamkan niat keliru dalam menuntut ilmu.

Sumber foto: Ponpes Syaichona Moh. Cholil

Begitu pula dalam menempuh pendidikan di pesantren. Orang tua dituntut pandai mengarahkan anak-anaknya pada tujuan yang mulia. Karena pendidikan pesantren memiliki prinsip yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa, baik dunyawiyah dan ukhrowiyah. Pesantren bertumpu pada tiga prinsip pokok, yaitu ilmu, amal, dan ikhlas. Tiga pokok lainnya: Iman, Islam, dan Ihsan, atau dalam Bahasa lain akidah, syariah, dan akhlak.

Mencari ilmu butuh niat yang jelas, apalagi belajar ilmu agama. Jelas tidak bisa disamakan dengan belajar ilmu fisika atau matematika. Sebab agama bukan sekedar ilmu pengetahuan, atau informasi-informasi yang bisa di dapat dengan cara yang instan dan otodidak. Belajar agama membutuhkan keyakinan yang kuat, menjaga niat, memperhatikan kebaikannya, mencegah kerusakannya, menjaga riyadhah, kebersihan hati, tata krama dan berbagai aspek positif lainnya.

Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.” Memperbaiki niat adalah kunci sukses dalam menuntut ilmu. Sedangkan adanya sinergi antara penuntut ilmu dan orang tua sangatlah dibutuhkan. Oleh karena itu, diharapkan agar para orang tua ikut membimbing putra-putrinya dalam menata niat. Karena bagaimanapun juga, generasi muda masa sekarang adalah para pemimpin di masa mendatang. Wallahu a’lam.

Penulis: Amin Makmun, S.Pd.I (Alumni PP. Syaichona Moh. Cholil)
Redaktur: Ach. Hafsin

One Reply to “Sinergi Orang Tua dan Santri; Tentukan Arah Jati Diri”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.