Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari di sana, di gedung DPR, wakil rakyat kumpulan orang-orang hebat bukan kumpulan teman-teman dekat apalagi sanak famili. Di hati dan di lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan jangan ragu, jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam (Iwan Fals).

Lirik lagu ini selalu terdengar di hati penyeru keadilan. Keadilan yang merata tanpa pandang bulu, kesejahteraan yang memihak pada rakyat kecil, pembangunan kesejahteraan merata dan yang lebih dari itu. Demokrasi yang seharusnya lebih memperlakukan rakyat secara sederajat, demokrasi tidak sebatas pemilu yang bebas dan adil, hal ini selalu menjadi harapan rakyat terhadap wakil-wakilnya tanpa henti. Perhelatan pesta demokrasi selalu dinanti, diikuti dan diamati demi menentukan pemerintah yang betul-betul pemerintah.

Bangsa ini sempat marah ketika banyaknya wakil rakyat yang tertangkap oleh KPK karena permasalahan korupsi. Hal ini sungguh merugikan rakyat dan bangsa. Banyaknya korupsi ditangan pemimpin bangsa ini tidak lain merupakan dampak perubahan sistem pemilihan legislatif pada suara terbanyak.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perubahan sistem pemilu legislatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka tidak lagi melihat kapabilitas figur calon, tetapi asal mendapatkan suara terbanyak maka dia yang berhak duduk menjadi wakil rakyat. Strategi kampanye calon legislator sangat menentukan untuk dapat dipilih. Banyaknya orang yang berduit berlomba-lomba terlibat dalam pesta demokrasi ini demi berbangga-bangga semata bukan untuk menciptakan perubahan terhadap rakyat kecil, sehingga hilanglah figur dari kontes demokrasi tersebut yang memang betul-betul terbangun dari hati nurani rakyat.

Demokrasi ini menciptakan ketidaksetaraan kandidat yang punya uang dengan yang tidak punya uang. Orang tidak lagi dipandang sederajat dalam politik karena tidak terciptanya demokrasi yang sesungguhnya. Akhirnya status orang dalam politik tidaklah dipandang berdasarkan kemampuan dan keahliannya berpolitik. Akan tetapi, kebanyakan politisi dipandang dari segi kemampuan dananya.

Apakah pesta demokrasi pemilu 2019 ini milik bangsa ini; milik rakyat atau milik orang elit yang berduit yang hanyalah sarana untuk mengembangkan atau sekedar mempertahankan kekayaan mereka, yang sama sekali tidak peduli dengan penderitaan rakyat banyak?. Pertanyaan ini selalu menjadi buah bibir masyarakat umum yang tidak puas terhadap pemerintah, terhadap wakil-wakilnya yang duduk di sana, mengingat kualitas demokrasi Indonesia diragukan mengahsilkan pemimpin yang kapabel karena bersumber dari hasil proses pragmatisme politik, tidak lagi memandang ketokohan serta kemampuannya untuk memimpin.

Oleh karenanya, muncul fenomena baru pemilik modal yang bermodel dalam pemilu menjadi hal lumrah ditemui dalam pemilu legislatif. Kebanyakan dari mereka memandang pemilu adalah kontestasi ketimbang kompetisi. Kekuatan modal memungkinkan mereka untuk memilih akses lebih banyak pada media massa dan menciptakan ruang-ruang ketidakadilan dan kecurangan yang selalu menjadi persoalan. Pengetahuan dan keputusan masyarakat dalam memilih bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat tetapi lebih karena peristiwa faktor ekonomis, bahkan transaksional tingkatan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye sangat besar untuk memenangkan.

Dengan biaya kampanye yang begitu mahal, mustahil rakyat diperlakukan sederajat secara politik! Juga, kalau setiap calon harus menyiapkan sekoper uang untuk kampanye, tentu setiap warga negara tak lagi punya hak yang sama untuk dipilih dan memilh. Mahalnya demokrasi kita saat ini sangat rentan dengan plutokrasi, yaitu kekuasaan ditangan kaum kaya-raya. Demokrasi hanya pembuka pintu kepada kaum kaya. Demokrasi ini telah berubah gagasan “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” menjadi “Dari pengusaha (elit), oleh perusahaan dan untuk pencarian keuntungan”.

Dengan mahalnya demokrasi semacam ini sulit mendatangkan kesejahteraan rakyat. Sebab, demokrasi ini hanya mempresentasikan si pemilik uang. Sedangkan posisi massa rakyat tak lebih sebagai mesin pengumpul suara, demokrasi semacam ini selalu dengan politik uang, pemilihan wakil rakyat tak lagi menjadi kontes ideologi yang selalu membela rakyat yang selalu menyuarakan suara rakyat, melainkan sebagai adu kekayaan, yang paling kaya dialah yang punya kompetisi dan menang. Kompetisi ideologi dan kemampuan seakan lenyap demokrasi bangsa ini, seakan suara rakyat dan bangsa ini tidak memihak pada Tuhan yang selalu menyuarakan keadilan dan kemakmuran rakyat.

Bangsa ini penakut, selalu kalah dengan uang, keadilan seakan sirna tanpa sisa di tanah pertiwi, kesejahteraan tak ubahnya imajinasi belaka. Selagi demokrasi milik orang-orang elit yang berduit, maka semakin banyak orang yang tertangkap KPK, bahkan KPK ditangkap KPK, penindasan demokrasi merajalela dan keadilan tak pernah ada.

oleh: Amin Makmun, S.Pd.I (Alumni STAIS dan PP. Syaichona Moh. Cholil Bangkalan) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.