MISKIN LITERASI DAN HILANGNYA SUBSTANSI?

(Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali)

 

Oleh: Ahmad Sukron

(Peneliti The Initiative Institute | Alumni Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan)

 

Kebebasan berpendapat

Beberapa hari yang lalu masyarakat telah dihebohkan dengan wacana Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo  VS Tampang Boyolali, melalui media sosial yang telah di ucapkan oleh kedua calon Presiden Indonesia  Jokowi dan Prabowo.

 

Sontak beberapa pengamat politik mencoba membedah maksud dan tujuan dari wacana bahasa Politik Sontoloyo, Politik Genderuwo dan Tampang Boyolali tersebut. Berbagai panalisis seperti miskinnya literasi dan kampanye saling mengejak yang dianggap telah menghilangkan Substansi kampanye, telah dikemukakan oleh beberapa pengamat politik, baik pengamat politik yang pro Jokowi-Makruf Amin maupun yang pro Prabowo-Sandi dan bahkan pengamat politik yang memposisikan diri netral dari kedua calon presiden tersebut.

 

Pada dasarnya, apapun dan bagaimanapun pandangan analisis oleh para pengamat dan loyalis serta relawan kedua belah pihak tersebut sah-sah saja, karena konstitusi NKRI telah menjamin Kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum. Sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945  dalam Pasal 28E Ayat (3), yaitu setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, wacana politik bahasa  tersebut  menjadi lumrah, karena menjelang digelarnya pesta demokrasi (pemilihan presiden dan wakil presiden) pada tanggal 16 April 2019 mendatang. Oleh sebab itu, seharusnya tidak perlu berlebihan menanggapinya. Dan jikapun merasa mempunyai kewajiban untuk menanggapi, substansi yang harus disampaikan harus dalam rangka ikut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Contoh hal-hal yang perlu dikaji dan disuguhkan ke halayak umum untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dari kasus tersebut adalah, terkait Grand Desain dan implikasi perkataan Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Politik Tampang Boyolali yang dikatakan Jokowi dan Prabowo sebagai calon Presiden Republik Indonesia 2019-2024.

Mercerdaskan Bangsa dan Negara dalam Wacana bahasa Politik Sontoloyo, Genderuwo dan Tampang Boyolali

Wacana  menurut kajian analisis Fairclough, merupakan pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan yang digunakan sebagai praktik bahasa yang berimplikasi pada sebuah hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Demikian pula Peraktek Politik bahasa Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali yang merupakan peraktik bahasa yang di Ucapkan oleh Jokowi dan Prabowo dalam momentum tertentu, juga akan berimplikasi dalam kehidupan sosial masyarakat antara situasi politik yang berdasarkan fakta-data dan harapan dengan praktek politik semu.

Fairclough dalam teori analisis wacana kritisnya mengatakan, bahwa bahasa merupakan bagian hal penting yang digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Bahkan menurutnya, pertarungan wacana kritis akan terbentuk sebuah skema tim yang bertujuan untuk saling mengamati dan menyelidiki kelompok sosial politik yang bertarung dengan mengajukan versinya masing-masing untuk memperoleh kekuasaan.

 

Fenomena tersebut dengan seiringnya waktu akan semakin terlihat dan menjadi tontonan politik yang akan memberikan ruang kepada masyarakat untuk menilai dan menentukan pilihan pada sosok presiden idaman rakyat pada tahun 2019-2024 mendatang melalui wacana politik bahasa yang dilontarkannya.

 

Benarkah wacana bahasa Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali miskin Narasi dan Substansi?

Untuk menjawab wacana bahasa Politik yang diucapkan Jokowi dan Prabowo beberapa waktu lalu tersebut harus objektif, karena guyonan wacana bahsa politik tersebut dianggap kehilangan substansi dan miskin literasi oleh beberapa kalangan. Karena bagaimanapun juga masyarakat adalah penentu terpilihnya presiden periode 2019-2024. Maka untuk melihat fenomena wacana bahasa Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali, perlu dikaji dari beberapa perspektif sebagai berikut :

 

Pertama, wacana politik bahasa dari segi action. Wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” yang diucapkan calon presiden Jokowi dan Prabowo tidak hanya diperuntukan bagi dirinya pribadi dan tim, akan tetapi lebih dari itu dapat diartikan sebuah tindakan sadar dan penuh dengan perencanaan yang bertujuan untuk mempengaruhi, membujuk, menyangga, dan bereaksi atas fenomena yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karena dengan pertarungan wacana politik tersebut, karekter kepemimpinan keduanya akan lebih mudah dieksploitasi dan disuguhkan kepada masyarakat.

 

Kedua,  wacana politik bahasa dari segi konteks. Wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” yang diucapkan calon presiden Jokowi dan Prabowo tidak dapat diartikan sebuak teks yang terucap dan tertulis secara kebetulan saja, akan tetapi lebih daripada itu, ada maksud dan tujuan yang mau diekpresikan kepada masyarakat yang mempunyai saham terbesar untuk menentukan terpilihnya presiden periode 2019-2024. Sehingga dengan demikian kata “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali sekaligus dapat berfungsi sebagai alat komunikasi politik yang efektif untuk memberikan space (ruang) dan jarak antara pendukung dan pemilih dari kedua belah pihak.

 

Ketiga, wacana politik bahasa dari segi historis Wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali ” yang diucapkan calon presiden Jokowi dan Prabowo tidak hanya dapat dilihat siapa mengatakan apa? dan dibalas dengan kata-kata apa karena dianggap menyinggung perasaan siapa?. Lebih dari itu, kata Sontoloyo, Genderuwo dan tampang Boyolali secara hidtoris dapat kita lihat latarbelakang munculnya bahasa tersebut. Hal ini menjadi penting dijadikan pisau analisis kajian wacana politik, untuk mengetahui situasi sosial politik yang dialami masyarakat. Sebagai contoh kenapa masyarakat menolak rezim orde baru? Tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak cukup karena soeharto dianggap otoriter, akan tetapi butuh melihat latarbelakang situasi sosial politik masyarakat, sehingga menyebabkan elemen masyarakat bersatu padu menolak rezim orde baru.

Begitu juga dengan Wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” yang dijadikan wacana politik oleh keduanya. Tentu kedua calon tersebut tidak serta merta mengatakan kata-kata tersebut. Akan tetapi ada grand desain yang telah di olah dan dikaji sedemikian rupa oleh tim keduanya, sehingga muncul Wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali”.

Keempat, wacana politik bahasa dari segi kekuasaan. “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” tidak hanya dilihat sebagai kata yang disampaikan secara alamiah, kebetulan dan netral, lebih dari itu, wacana “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” merupakan sebuah kata yang didesain untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan yang menghubungkan keadaan sosial politik, ekonomi politik dan budaya politik tertentu yang belakangan ini dinarasiksan politik identitas (Islam moderat dengan islam Intoleran) dan ketimpangan ekonomi rakyat.

Dengan demikian, wacana “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” tidak dapat diartikan sebuah pola komunikasi politik yang miskin narasi yang menyebabkan kehilangan substansi untuk membangun eksistensi demi tercapainya Popularitas, Akseptabilitas dan Elektabilitas. Lebih dari itu, wacana bahasa “Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo VS Tampang Boyolali” merupakan ungkapan yang dilakukan secara sadar dan didesain sedemikian rupa untuk mempermudah membangun isu politik dan mengontrol struktrur wacana politik yang sedang dibranding oleh masing-masing kontestan dalam pilpres, supaya terpilih menjadi presiden periode 2019-2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.