Sumber Foto : bangkitmedia.com

ISLAM NUSANTARA LAGI
Mufti Shohib*

Belum seberapa lama reda menjadi sasaran cacimaki sekelompok Cyberbully karena aksi Gus Yahya promosi pesan Rahmah di Israel, drama-drama hujatan kembali viral menjurus ke Jam’iyyah yang diprakarsai para Ulama Alumni Syaichona Cholil ini; Nadlatul Ulama. Kali ini NU kembali disudutkan karena topik yang sering didengungkan yaitu Islam Nusantara; tipologi keberagamaan yang diperkenalkan NU ke panggung dunia yang muatannya tak lain adalah materi diskursus klasik mengenai relasi Islam dan budaya.

Islam Nusantara sebagai sebuah gagasan yang sejatinya sudah final  dengan komposisi rasionalitas yang mapan berikut pertanggungjawaban Ilmiahnya, serta berulangkali klarifikasi digelar sebagai respon atas tudingan miring mengenai gagasan itu, hingga kemudian diterima sebagai sebuah gagasan wajar (tidak menabrak sendi-sendi fundamental dalam Islam sebagaimana difitnahkan), kini -entah karena musim apa- kembali dipersoalkan dan menjadi tranding topik. Amunisi yang diarahkan untuk menghujat Islam Nusantara sebenarnya tetap yang itu itu saja; bahwa Islam Nusantara hendak melegitimasi praktek budaya yang bertentangan dengan Syariat;  bahwa Islam Nusantara akan berefek pada lahirnya Islam Eropa, Islam Amerika, Islam Cina dll; bahwa Islam Nusantara merupakan upaya liberalisasi agama dan disinyalir hendak mereduksi pondasi pocok agama.

Tudingan diatas jelas tak lain hanya sekadar asumsi belaka. Mengamati substansinya, Islam Nusantara sebagaimana disampaikan oleh Kiai Said adalah tipologi atau ciri khas dakwah Islamiyah di bumi Nusantara yang tidak membabat tradisi melainkan melestarikannya bahkan sebagai bagian dari ritual keagamaan dengan cara dibumbui dengan dzikir dan bacaan religius lainnya, serta merevisi beberapa praktek budaya yang bertentangan dengan syariat. Kalau demikian, Istilah Islam Nusantara tak lain merupakan label yang disematkan pada dakwah ala Walisongo yang mengakar dalam tradisi dengan manhajnya yang fleksibel. Bukan agama, bukan madzhab, bukan pula aliran, melainkan sekadar tipologi, ciri khas atau mumayyizaat.

Kenapa harus ada tipologi Islam Nusantara? Tidak cukupkah “Islam’ saja? Demikian kira-kira kegelisahan sebagian penghujat Islam Nusantara. Mengangkat kembali model pertanyaan demikian secara logika sama halnya mempersoalkan urusan ber Aswaja; kenapa masih ada Islam Ahlussunnah waljamaah, tidak cukupkah Islam saja? Kenapa harus ada NU, Muhammadiyah dll? Tidak cukupkah ‘Islam’ saja?. maka perlu untuk eksekian kalinya dipertegas bahwa gerakan Islam Nusantara sebagai sebuah ciri khas cara beragama tidak lahir dari ruang hampa melainkan lahir sebagai respon terhadap kondisi sosio politik dan ideologi yang telah membajak label Islam tapi justru menjadi parasit yang berbahaya bagi citra Islam itu sendiri.

Gerakan politik Islam Transnasional seperti ISIS, HTI, dan lainnya jelas tidak begitu respek terhadap aspek budaya lokal sebagai bagian dari fakta yang harus diakomodir dan dilestarikan oleh agama. Secara ideologi, menjamur kelompok seperti Salafi Wahhabi yang doyan risih atas praktek tradisi lokal sekaligus membenturkannya dengan agama. Maklum, kelompok-kelompok seperti ini anti tahlilan, anti manaqiban, anti slamettan, dan model tradisi lain yang telah direformulasi dengan nilai-nilai agama. Simpelnya, ditengah maraknya gerakan yang tidak ramah dengan tradisi lokal dan lokalitas serta membenturkannya dengan agama, baik dalam bentuk gerakan politik seperti PKS dan gerakan doktrin ideologis seperti HTI dll, kita butuh gerakan tandingan yang langsung menusuk jantung pertahanan amunisi mereka yaitu Islam Nusantara.

Dengan demikian kita jadi faham, siapa yang sebenarnya paling berkepentingan untuk memberangus eksistensi tipologi Islam Nusantara? jelas bukan orang pesantren, karena bagi kalangan santri, urusan seperti ini hanyalah persoalan furuiyyah fiqhiyyah yang tidak perlu diperdebatkan lantaran sifatnya yang fleksibel. toh kalau tradisi lokal itu jelas berseberangan dengan syariat seperti minum minuman keras, judi, dll tetap tidak diakui kok. Semoga bermanfaat.

*Santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil,
Alumni STAI Syaichona Moh. Cholil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.