Populisme Politik

Populisme Politik muncul seiring dengan kegagalan institusi social dan politik, yang dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Kondisi tersebut telah menciptakan krisis kepercayaan dikalangan masyarakat, dan dikelola secara sempurna oleh oknum Politisi dengan cara mengeksplorasi kegagalan institusi social dan politik, yang terkesan menerapkan praktek institusi ekstraktif kepada masyarakat. Selain itu, Awal mula merabaknya Populisme politik kepermukaan public, merupakan akibat reaksi masyarakat atas ketidak percayaan pada institusi sosial dan politik, yang dianggap tidak mampu mewadahi aspirasi dan inpirasi rakyat.

 

Terjadinya ketimpangan social yang disebabkan pola institusi yang bersifat ektraktif, ingkarnya janji-janji politik pejabat public dengan cara menerapkan kebijakan sekuler dan liberal, dinggap bertentangan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga mampu menstimulus dan merangsang mindset masyarakat tentang kebutuhan lahirnya pemimpin ideal. Hal inilah yang dijadikan momentum oleh kaum Polulisme politik untuk mendapatkan keuntungan dengan cara menghegemoni masyarakat. Dengan kemampuan gaya diplomasi, konsolidasi dan rekonsiliasi yang dibumbui ilmu retorika, Politisi Populis mampu menggiring opini negative tentang pemimpin yang menggunakan pola institusi ekstraktif dikalangan masyarakat, dan berusaha mengakomodir serta menawarkan pola kinerja institusi inklusif. Sehingga terkonstruk dalam mindset masyarakat, bahwa politisi populis tersebut adalah pahlawan baru yang akan membawa perubahan yang lebih baik.

 

Virus Populisme Politik

Visrus Populisme Politik cenderung melekat pada politisi yang sedang atau ingin memburu kekuasaan, baik dalam ranah eksekutif maupun dalam ranah legislative. Seperti yang terjadi di Asia Tenggara, Tahksin Sinawatra “Presiden Thailand”. Dengan kemampuannya membangun kekuatan massa rakyat miskin perkotaan dan pedesaan yang menyebabkan dirinya populis, telah mengantarkannya menjadi orang nomor satu di Thailand. Meskipun ada sebagian pengamat mengatakan, bahwa Tahksin Sinawatra dinilai belum mampu sepenuhnya mewujudkan janji-janji politiknya untuk memakmurkan rakyatnya

 

Di Indonesia istilah Populisme Politik booming dibicarakan masyarakat pasca maraknya Politisi memanfaatkan momentum konflik kepentingan para calon yang berkontestasi dalam perebutan kekuasaan dengan masyarakat. Salahsatu contoh Pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu. Populisme politik dalam kontestasi (PILPRES) pada tahun 2014, mampu meyakinkan masyarakat, bahwa keberadaan kedua pasangan calon merupakan solusi terbaik, karena keduanya dinilai merupakan sosok yang Bersih, Nasionalis dan Merakyat. Diakui atau tidak pada tahun 2014, isu korupsi memang menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat, karena banyak oknum politisi dan oknum pejabat public yang berada dilingkaran kekuasaan terjangkit virus korupsi. Oleh sebab itu calon yang dianggap bersih dari korupsi dan mau merakyat merupakan calon yang di idam-idamkan oleh rakyat.

 

Populisme politik selain diterapkan di Negara berkembang zaman now. Sudah sering diterapkan di Negara-negara maju, seperti di Amerika dan Eropa. Di German, siapa yang tidak kenal dengan nama Hetler? tentu sudah tidak asing lagi bagi politisi tentang pemimpin German yang bernama Hetler. Hetler yang masuk dalam nominasi diantara 100 pemimpin berpengaruh didunia, awalnya hanya prajurit biasa yang pemberani. Karena perkembangan politik telah menghimpitnya, maka Hetler mampu bangkit dan tumbuh mengembangkan karirnya melalui strategi Populisme Politik pada waktu menjadi pemimpin salahsatu partai politik di German. Konon kegigihannya dalam memimpin partai politik, Hetler sangat disegani, karena mampu merubah tatanan negative menjadi positif dalam tubuh partainya. Sehingga pada puncaknya Hetler mampu menjadi orang nomor satu di German.

 

Jamur Populisme Politik Pilkada Serentak 2018

Menjamurnya populisme politik di Indonesia saat ini sudah menjadi keniscayaan. Momentum Pilkada serentak tahun 2018 yang akan diselenggarakan tanggal 27 juni 2018, merupakan momentum yang tepat bagi Politisi Populis menerapkan strategi Populisme Politik untuk menggaet hati masyarakat. Maraknya isu negative seperti ketidak puasan yang dialami masyarakat dalam hal pelayanan public, virus Korupsi yang menimpa kalangan oknum pejabat publik, kemiskinan dan kesenjangan social yang dialami masyarakat, dapat dijadikan pintu masuk para kontestan Pilkada Serentak tahun 2018 untuk menanamkan benih-benih Populisme Politik dikalangan masyarakat.

 

Peluang berkembang dan menjamurnya Populisme Politik dalam kontestasi Pilkada serentak 2018 masih sangat besar. Karena sistem demokrasi telah memeberikan ruang kepada para Politisi Populis menerapkan strategi Populisme Politik untuk mendapatkan kemenangan. Persaingan perebutan kekuasaan yang kental dengan aroma kepantingan melalui sistem One Pearsone, One Vote And One value, menyebabkan tidak adanya perbedaan yang disebabkan status seseorang. Seperti suara seorang profesorp tentu akan sama dengan suara rakyat jelata. Dengan demikian tidak ada jaminan bagi calon petahana atau  calon yang kuat untuk memenangkan perebutan tahta kekuasaan dengan mudah, dan para calon mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan kemenangan “the art of possibilities” (politik adalah seni kemungkinan). Oleh sebab itu cara terbaik supaya kemungkinan tersebut terwujud, mendulang suara rakyat sebanyak-banyaknya adalah solusi terbaik.

 

Menjamurnya Populisme Politik Pilkada serentak 2018, memang sangat menarik didiskusikan. Karena Populisme politik identik dengan Negara demokrasi yang dimanfaatkan Politik Populis dalam menerapkan politik eksklusif. Namun, meskipun demikian pemimpin yang di hasilkan dengan cara strategi populisme politik, juga mempunyai kecenderungan menekan institusi-institusi politik dan social untuk mengakomodir para loyalis yang terdiri dari kaum termajinalkan dan tergabung dalam kelompok – kelompok tertentu yang telah ikut membantu memenangkannya.

 

Acapkali pemimpin yang diorbitkan dengan strategi Populisme Politik, akan mengalami kesulitan merealisasikan janji-janji politiknya. Karena, pertama calon Politik Populis yang terpilih dituntut harus membuat terobosan baru yang efektif dalam jangka waktu singkat. Sebab terpilihnya calon yang menggunakan Populisme Politik dianggap sebagai kecelakaan politik. Kedua, pejabat yang terpilih karena Populisme Politik cenderung kesulitan melakukan inprovisasi dalam pengambilan kebijakan.

 

Trpilihnya calon yang menggunakan populisme politik mempunyai kecenderungan dikagumi yang bersifat sementara dan sedangkan akibat pada pemerintah jika tidak cepat berinprovisasi berdampak jangka panjang.

 

Dengan demikian, berkembanganya Jamur Populisme politik dalam lingkaran perebutan kekuasaan Pilkada serentak 2018 harus diimbangi dengan gerakan – gerakan politik maupun gerakan social yang datang dari kelompok-kelompok yang netral. hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan apabila dalam menjalankan roda pemerintahan terhindar dari praktek kekuasaan absolud. Sedangkan bagi masyarakat (pemilih), dibutuhkan kecerdasan dalam menetukan pilihan yang tepat pada para calon pemimpin yang ingin diberi legitimasi untuk mewakili dirinya dalam mengambil kebijakan.

 

Penting bagi masyarakat untuk mencari tahu latar belakang calon pemimpin yang ingin dipilih. Indonesia sudah berkembang mendekati kemajuan. Rakyat butuh pemimpin yang mau bekerja untuk rakyat. Bukan bekerja atas kepentingan individu maupun golongan tertentu. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang bekerja keras untuk rakyat dan mau merakyat. Sudah waktunya rakyat cerdas memilih pemimipin. Rakyat tidak boleh terhegemoni dengan tagline-tagline positif calon yang tidak sesuai dengan yang dirasakan rakyat. Jangan sampai pepatah lama memilih kucing dalam karung terulang kembali. Karena jika pepatah lama tersebut terulang kembali, maka rakyat sama saja membiarkan terbengkalainya nasib dan generasi bangsa dimasa yang akan datang kepada pemimpin yang sudah sering menghianati Negara dan bangsanya melalui pola kinerja institusi – institusi ekstraktif.

 

AYO CERDAS MEMILIH!!! & HATI-HATI JAMUR POPULISME POLITIK!!!!

 

Penulis : Ahmad Sukron, M.IP

Alumni PPSCH BANGKLAN dan Alumni S2 Ilmu Politik Unair

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.