Bekerja atau mencari penghidupan merupakan suatu hal yang sangat mendapat tempat dan penghargaan dalam agama kita ( Islam ). Sebab dengan bekerja seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga dapat terhindar dari perilaku meminta-minta yang sangat rendah dan hina dalam pandangan Allah SWT.

Walaupun demikian, apapun yang kita lakukan termasuk mencari penghasilan entah dengan cara bercocok tanam, melaut, berdagang ataupun menjadi pejabat negara (walaupun sebenarnya pejabat negara tidak termasuk ahlulkasbi atau seorang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan) haruslah dengan cara-cara yang benar dan penuh kejujuran. Janganlah gara-gara pekerjaan, kita sampai melupakan dan meninggalkan kewajiban kita, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Jangan pula gara-gara ingin cepat kaya lalu kita sampai hati melakukan korupsi, penipuan dan cara-cara lain yang jauh dari nilai-nilai kejujuran. Karena apapun usaha yang kita lakukan jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar justru akan menjauhkan kita dari keberkahan hidup yang merupakan sumber dari kebahagiaan dan mendatangkan murka Allah yang akan menyebabkan kesengsaraan.

Saudaraku, ingatlah bahwa penipuan dan kecurangan dalam profesi dan pekerjaan apapun sangat dicela oleh Allah dan Rosulullah SAW. Dari Abi Huroiroh ra bahwa ” Nabi SAW. pernah berjalan di dalam suatu pasar melewati tumpukan makanan (yang sedang dijajakan). Lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut dan tangan Beliau menyentuh makanan yang basah. Bertanyalah Nabi pada penjual makanan tadi “apa ini wahai pemilik makanan?”. Wahai Rosulullah, makanan ini terkena hujan”, jawab si penjual. “Mengapa tidak engkau taruh makanan yang basah ini di bagian atas sehingga bisa diketahui oleh orang-orang?. Kemudian Beliau saw bersabda;” barangsiapa yang berbuat culas pada kami maka ia tidak termasuk golongan kami”.

Dan sudah maklum bahwa setiap orang harus mengetahui apa yang bisa membuat pekerjaan yang sedang ia geluti menjadi alat untuk bertakwa kepada Allah, menjadi alat untuk menjaga diri dari meminta-minta. Dan juga harus tahu apa yang bisa membuat pekerjaannya tersebut menjadi alat untuk menipu orang lain untuk kepentingan dirinya agar ia dapat menghindarinya. Sebab Allah menjadikan setiap hamba-Nya bertanggung jawab atas dirinya dalam usaha dan pekerjaan yang ia lakukan. Maka apabila ia melakukan penipuan dalam pekerjaannya, berarti ia telah berkhianat terhadap agamanya, dirinya dan seluruh umat manusia.

Saudaraku, agar kita mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan kita, haruslah kita selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hindarilah dusta dan penipuan dan teruslah bersandar diri kepada Allah. Jangan bersandar pada pekerjaanmu. Dengan begitu, bukan tidak mungkin Allah SWT akan menjadikanmu seorang yang kaya raya. Para ulama menyatakan;” Setiap orang yang tulus (jujur)dalam pekerjaannya sedangkan ia tidak menyandarkan dirinya pada pekerjaannya tersebut niscaya Allah berkahi modalnya dari arah yang tidak ia duga sehingga ia menjadi orang yang paling luas harta bendanya. Dan barangsiapa yang melakukan penipuan dalam pekerjaannya maka tersingkaplah keadaannya (kedoknya) dan hilanglah keberkahannya dan dalam waktu dekat dipukulkan padanya suatu sifat yang menjatuhkan dirinya dalam kelemahan. Sebab Allah SWT menempatkan kefaqiran (kemiskinan) di dalam penipuan dan meletakkan keberkahan di dalam ketakwaan.

Saudaraku, para Ulama mulai dari generasi Salaf sampai Khalaf senantiasa mendorong agar kita melakukan pekerjaan sesuai tuntunan al-Qur’an yang agung dan Sunnah Nabi yang mulia. Seperti Syeikh Imam Abu al-Hasan as-Syadili ra yang menyatakan; “Barangsiapa bekerja (mencari penghidupan)sedangkan ia tetap melaksanakan semua perkara yang diwajibkan oleh Allah kepadanya maka benar-benar telah sempurna perjuangannya”.

Serupa dengan itu apa yang dikatakan oleh Syeikh Abu al-Abbas al-Mursy ra ;” Tetaplah engkau bekerja. Dan hendaklah salah seorang dari kalian menjadikan takarannya sebagai Tasbih(alat menghitung bacaan dzikir), kedatangannya untuk bekerja sebagai tasbih, pekerjaan menjahitnya sebagai tasbih dan perjalanannya sebagai tasbih”.

Yang dimaksud adalah apapun yang kita lakukan terutama ketika sedang bekerja mencari penghidupan,hendaknya menjadikan pekerjaan itu sebagai ladang amal dengan terus mengingat Allah agar hidup dan penghidupan kita senantiasa dipenuhi keberkahan. Sebab jika kita senantiasa berdzikir kepada Allah maka kita tidak mungkin melakukan pemalsuan, kecurangan dan hal-hal kotor yang lain.

Terkait bagaimana hukum ” bekerja untuk mencari penghidupan”, para Ulama telah sepakat bahwa hukumnya wajib muakkad(wajib yang sangat) yang disetarakan tingkatannya dengan “kewajiban beriman”. Syeikh Abi Ishaq Ibrahim al-Mathbuli ra menyatakan; ” status seorang faqir(yang menempuh jalan menuju makrifatullah) yang tidak memiliki kasb (pekerjaan) itu seperti seekor burung hantu yang terus berdiam diri di dalam bangunan yang runtuh yang sama sekali tidak berguna bagi siapapun”.

Bekerja mencari rizki hukumnya wajib. Itulah sebabnya kenapa ketika Nabi SAW. mendapat tugas risalah untuk disampaikan pada umatnya, Beliau tidak memerintahkan para sahabatnya agar meninggalkan pekerjaan yang telah lama mereka geluti dan telah menjadi profesi mereka. Justeru sebaliknya, Beliau SAW mengakui pekerjaan dan profesi para sahabat dan memerintahkan agar berbuat jujur dalam menjalankan pekerjaan dan profesi mereka.

Beliau juga menyatakan :” Manusia yang sempurna ialah seseorang yang mengajak manusia untuk menempuh jalan Allah sedangkan mereka tetap pada pekerjaannya. Bukan seseorang yang memerintahkan mereka untuk meninggalkan pekerjaannya sebelum ia membawa mereka ke jalan Allah. Karena sesungguhnya tiada perkara yang disyariatkan (diperintahkan oleh Allah dan Rosulullah) kecuali seorang yang telah mencapai maqom makrifat akan mampu membawa murid-muridnya menuju hadirat Allah SWT. Berbeda jika para murid sibuk dengan hal-hal yang tidak disyari’atkan”. Maka hal tersebut dapat menjadi penghalang bagi mereka.

Allah SWT memuliakan orang-orang mukmin yang memiliki pekerjaan dengan beberapa hal yang membuat mereka mengungguli orang-orang yang ahli ibadah yang tidak punya pekerjaan.

Pertama : pekerjaan yang mereka lakukan dan tekuni adalah untuk mereka. Karena dengan bekerja mereka makan dari hasil kerja kerasnya sendiri, bukan dari sedekah ataupun kotoran harta orang lain.

Kedua : Orang- orang yang memiliki pekerjaan tidak pernah memberikan statement bahwa mereka seorang yang berilmu dan mereka tidak pernah sombong atas orang-orang bodoh. Sehingga mereka bersaksi atas kehinaan dirinya dan memuliakan orang lain.

Ketiga : Orang-orang yang memiliki pekerjaan selamat dari kerancuan-kerancuan pemikiran tentang Allah, Rosul dan hukum-hukum Allah.

Keempat : Apabila mereka terjatuh dalam perbuatan maksiat maka mereka mengakui keburukan perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan dan sedikitpun mereka tidak pernah berpikir bagaimana menebus maksiat tersebut.

Hal ini juga dikuatkan oleh Sayyid Ali al-Khawwash ra :” Bagiku seorang yang makan dari hasil kerjanya sendiri sekalipun pekerjaan makruh seperti tukang bekam dan tukang pembuat tombak itu lebih mulia dari pada seorang ahli ibadah yang makan dengan agamanya dan diberi makan oleh orang lain sebab kualitas agamanya”.

Namun demikian, bekerja dengan tujuan menumpuk-numpuk harta dan bermewah-mewahan sangatlah tercela. Sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadits yang artinya ” Barangsiapa mencari harta dunia yang halal dengan tujuan memperbanyak atau bermegah-megahan maka Allah akan menjumpainya dalam keadaan marah kepadanya”. Imam Syafi’i ra mengatakan: ” Mencari kelebihan harta halal merupakan suatu siksaan yang Allah jadikan cobaan pada seorang ahli tauhid”.

Penulis : Farid Tumyadi
Editot : Ach Hafsin

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.